Oleh : Ridwanto
Dengan hati yang penuh harapan ingin sampai ke puncak Samiaji, sekelompok pemuda mempercepat ayunan kakinya melangkah memasuki desa Samiaji yang sebentar lagi akan kelihatan Gapuronya. Desa dengan pemandangan yang begitu indah, dengan hawa yang begitu sejuk. Desa yang diapit oleh dua gunung ini membuat desa ini membawa daya tarik tersendiri bagi para pendaki. Apitan gunung membuat desa ini begitu indah. Air sungai yang mengalir begitu bersih, kelihatan dasar sungai yang dipenuhi batu, hampir tidak ada satu kotoranpun yang mengikuti aliran sungai yang begitu deras di desa itu, yang mengeluarkan suara gemercik.
Tumbuhan yang rimbun dengan hijau dedaunannya menambah asri desa Samiaji. Ingin rasanya berlama-lama dan tidak meninggalkan tempat ini. Angin yang sepoi mengalir menyibak dedaunan padi yang mulai menguning yang menghampar luas, membuat suasana desa ini semakin memiliki daya tarik. Namun kelompok pemuda itu harus sampai di tujuannya di puncak Samiaji.
Ketika memasuki desa Samiaji hari menjelang sore, matahari sudah condong ke barat. Walau matahari bersinar terang namun tidak menyengat badan, bahkan masih sejuk terasa.
Kelompok pemuda itu menghentikan langkahnya ketika sampai di depan Masjid. Mereka berempat kemudian sholat Ashar. Setelah semua pemuda itu selesai sholat, kemudian menuju warung yang terletak tidak jauh dari Masjid. Mereka mengisi perut sambil melepas lelah karena perjalanan jauh yang telah mereka tempuh.
Sore itu warung agak sepi, dan suana desapun sepi, tidak seperti biasanya banyak pendaki yang datang ke desa itu. Duduklah mereka berempat di kursi warung itu, dimana sebelumnya sudah ada dua orang yang duduk ngopi di warung itu, mereka adalah penduduk setempat.
“To wis siap tah olehe awakmu nggawe tumpeng kanggo mengko wengi?” (To, apa sudah siap tumpeng yang kamu buat untuk acara nanti malam) kata seseorang yang setengah tua yang bernama pak Suyono.
“Uwis mas No, mengko sing melu wong piro?” (Sudah mas No, nanti yang ikut orang berapa) kata Parto
“Yo koyok biasane, wong patangpuluh lebih” (Ya seperti biasanya, orang empatpuluh lebih) jawab Suyono
“Sopo sing mimpin?”(Siapa yang memimpin) tanya Parto kembali
“Yo koyok biasane, sopo maneh kajobo, cak So” (Ya seperti biasanya, siapa lagi, Mas So) Jawab Suyono
Mendengar pembicaraan mereka, tertariklah pimpinan pemuda pendaki yang bernama Farid untuk bertanya kepada dua orang yang setengah tua itu.
“Permisi pak, saya mau bertanya. Mengapa hari ini kok begitu sepi, juga tidak ada pendaki yang datang ke desa ini?”
Pak Yono menjawab, “Hari inikan hari Kamis malam Jum’at Legi. Biasanya hari-hari seperti ini tidak ada pendaki yang datang untuk mendaki”
“Lalu penduduknya kemana, kok begitu sepih, biasanya pada jam-jam seperti ini, masih di sawah, dan sebagian duduk-duduk di warung ini?”
“Sebagian dari mereka mempersiapkan acara untuk nanti malam yang akan diadakan di puncak Gunung Samiaji, yang sebagian lagi istirahat, untuk mempersiapkan tenaganya agar dapat mendaki sampai ke Puncak.”
“Akan ada acara apakah nanti malam di puncak?” lanjut pemuda semakin penasaran
“Setiap Kamis malam Jum’at Legi Warga sini mengadakan hajatan kirim do’a untuk leluhur di Puncak Samiaji. Kalau kisanak tidak tergesa-gesa ikut saja dengan kami mendaki bersama-sama setelah sholat Maghrib. Kami nanti berkumpul di Masjid dan berangkat dari sana”
“Baik pak agaknya kami tertarik dengan acara tersebut, dan lagi, Maghrib kan tinggal sebentar lagi” jawab Farid sambil menyruput kopi yang anget-anget kuku.
Kemudian mereka melanjutkan menikmati hidangan warung mbok Warsih sambil melepas lelah serta menunggu datangnya Maghrib.
Adzan Maghrib berkumandang, mereka berempat segera melangkahkan kakinya ke Masjid, mengambil wudlu’, kemudian sholat berjama’ah bersama-sama penduduk setempat. Banyak sekali yang sholat berjama’ah. Hampir seluruh warga sholat berjama’ah di Masjid itu. Desa ini memiliki penduduk yang semuanya beragama Islam, dan penduduknya tidak pernah meninggalkan sholat.
Setelah sholat selesai sebagian warga pulang, dan semua wanita juga pulang, hanya tinggal kira-kira tiga puluh orang lebih yang masih berkumpul, kemudian datang rombongan yang membawa tumpeng yang tadinya pulang terlebih dahulu, juga sebagian wanita membawakan makanan untuk acara tersebut. Acara tersebut nantinya hanya diikuti oleh pria saja sedangkan wanita yang sekarang ada di halaman masjid akan pulang.
Rombongan yang kira-kira terdiri dari empat puluh orang lebih itu, berangkat sampil membawa tumpeng. Diikuti empat orang pemuda pendaki yang berada di belakang mereka.
Langkah mereka pelan teratur. Mula-mula rombongan pendaki itu bersama empat orang pemuda, akan tetapi setelah menempuh waktu kira-kira setengah jam lebih, empat orang pemuda itu kelelahan. Namun Rombongan warga yang langkahnya pelan tapi pasti agaknya tidak mengalami kelelahan mereka berjalan terus, walaupun sambil membawa tumpeng. Sementara empat orang pemuda berusaha untuk bersama rombongan itu, akan tetapi langkahnya semakin berat. Ketika sampai di tengah hutan, di pelataran yang agak rata, dan kira-kira berjalan satu jam lebih, keempat pemuda ini memutuskan untuk beristirahat sebentar. Jalan di depan mereka semakin menanjak tajam, bagi mereka jalan yang akan dilalui semakin berat. Apakah rombongan pemuda akan dapat menyusul rombongan warga tersebut.
Setelah merasa segar kembali, keempat pemuda segera menyusul dengan langkah yang cepat. Namun setelah mempercepat jalannya, mereka tidak melihat rombongan yang di depannya seakan hilang ditelan rimbunnya pohon-pohon hutan yang ada. Kembali kelelahan menyerang mereka, mereka beristirahat sebentar kemudian melanjutkan kembali, begitu seterusnya, dan jarak waktu istirahat semakin lama semakin dekat, karena kelelahan.
Setelah berjalan kira-kira lima jam sampailah mereka pada stefa, mereka berjalan di padang stefa (padang rumput yang diselingi dengan semak-semak).
“Kapan kita sampai di puncak?, sepertinya warga desa sudah sampai sana” tanya Agung
“Sebentar lagi kita sampai ke Sabana (padang rumput) selanjutnya ada Gua, dan di atasnya adalah kepundan, kemudian kita sampai puncak” jawab Muchtar
Sementara Si Margo yang sejak berangkat hanya diam saja, si Margo memiliki tenaga yang paling lemah di antara teman-temannya.
“Kita hampir sampai di Sabana” kata Farid yang melanjutkan dengan istirahat karena mereka sampai di perbatasan stefa dan sabana. Mereka beristirahat di bawah semak yang rindang. Mereka memandangi sabana yang luas, juga melihat jauh ke atas ke arah Gua. Alangkah terkejutnya mereka ketika mereka melihat sosok makhluk putih yang mondar-mandir di depan Gua. Makhluk yang sangat besar.
“Macan Putih” kata Farid dengan lirih, serta gemetar seluruh tubuh Farid dan nafasnnya mulai saling memburu.
“Haaaaaaaa, macan” ketiga temannya menyahut dengan suara gemetar pula, “Tidak mungkin, itu bukan macan, mana ada macan putih di sini, dan bila benar makhluk itu adalah macan, tidak mungkin sebesar itu, sebesar kuda” sahut Margo yang kali ini mengeluarkan kata-katanya karena dia juga takut setengah mati.
Mereke berempat kemudian mengurungkan melanjutkan langkahnya, bahkan mereka mundur bersembunyi di semak-semak sambil mengintai makhluk yang menghadang mereka.
Makhluk itu tetap mondar-mandir, sambil sesekali mengaum, memandang ke arah empat pemuda yang bersembunyi. Makhluk itu tahu akan kehadiran makhluk lain di depannya, namun ia tidak menyerang, makhluk itu hanya menjaga Gua, menghadang jalan di samping Gua yang menuju ke Puncak.
Sudah satu jam mereka menunggu dalam ketakutan, sudah satu jam mereka menunggu dihantui kecemasan, tapi makhluk yang berada di depan Gua itu tidak beranjak dari tempatnya. Pilihan lain adalah kembali, namun tekad mereka sudah bulat untuk sampai di Puncak Samiaji. Mereka akan menunggu selama apapun.
Setelah menunggu sekian lama, dari jalan di atas Gua terdengar sayup-sayup rombongan bercakap-cakap turun dari puncak, semakin lama terdengar langka mereka, dan akhirnya rombongan itu terlihat oleh empat pemuda.
Namun keanehan terjadi disini, hanya sekejap mereka tidak memperhatikan keberadaan makhluk yang sangat menakutkan, karena empat pemuda ini memperhatikan datangnya rombongan yang turun dari puncak, makhluk itu tiba-tiba tidak terlihat bersama dengan mendekatnya rombongan dari puncak ke Gua.
Empat pemuda ini segera keluar dari persembunyiannya, segera mereka melangkakan kakinya dengan cepat. Pikir mereka inilah kesempatan mereka. Empat pemuda itu kemudian menghampiri anggota rombongan yang mereka kenal.
“Hai kisanak kemana saja kalian, kalian baru sampai, Apa yang terjadi dengan kalian. Apakah di antara kalian ada yang sakit atau terluka” tanya pak Parto ketika mereka berpapasan
“Tidak Pak, kami dihadang oleh makhluk yang sangat besar dan menakutkan, bentuknya seperti macan warnanya putih, tapi besarnya sebesar kuda”
“Ah….!!!!, kalian ini ada-ada saja, mana mungkin ada makhluk seperti itu di sini” sahut pak Suyono
“Benar pak, kami tidak bohong, bahkan makhluk itu tadi di situ” jawab Farid menuding ke arah Gua yang letaknya hanya sekitar enam meter dari mereka berdiri.
“Mari ikut aku!!!” ajak pak Parto, yang diikuti oleh pak Suyono, mereka berempat pun mengikuti menuju Gua yang diperkirakan oleh empat pemuda itu sebagai persembunyian makhluk tersebut. Sementara warga lainnya turun meninggalkan mereka berenam.
Setelah pak Parto masuk kedalam Gua diikuti oleh pak Suyono, di dalam gua tidak ada apa-apa. Gua ini sempit hanya dapat dimasuki oleh tiga sampai empat orang. Empat pemuda itu menunggu di luar pintu Gua.
“Hai kisanak, kalian lihatlah ke dalam!!!, disini tidak ada makhluk itu kan??” kata pak Parto sambil keluar diikuti oleh pak Suyono
“Sekarang kalian masuklah, biar kami menunggu di luar!!!” tambah pak Suyono
Dengan hati yang masih cemas dan takut, masuklah empat orang pemuda itu satu persatu ke dalam Gua untuk membuktikan apakah makhluk yang mereka lihat tadi bersembunyi di dalam. Akan tetapi mereka tidak mendapatkan apa-apa, hanya Gua yang kosong.
“Sekarang kalian percayakan, bahwa makhluk itu memang tidak ada” kata pak Parto
“Lalu yang kami lihat tadi itu apa, pak???” tanya Farid
“Ya mungkin itu hanya penglihatan kalian yang kacau karena kelelahan” jawab pak Yono
“Tidak mungkin pak, kami sudah menunggu begitu lama dalam persembunyian, dan lelah kami sudah hilang, tapi makhluk itu masih ada” kata Agung
“Sudahlah, kalian kan akan melanjutkan ke puncak. Puncak dari jalan di atas gua ini sudah kelihatan. Lanjutkanlah niat kalian ke Puncak, sementara kami berdua akan pulang karena telah ditunggu keluarga”
“Baiklah, selamat jalan pak”
“Selamat jalan anak muda, semoga selamat sampai tujuan”
Akhir mereka berpisah. Empat orang pemuda melanjutkan perjalanan ke Puncak Samiaji dengan diikuti oleh suasana yang mencekam. Sementara dua warga desa turun untuk kembali ke desa ke rumah mereka masing-masing.
Kira-kira pukul tiga lebih sampailah empat orang pemuda di Puncak Samiaji. Puncak dengan pemandangan yang indah. Di pagi hari bila langit tidak mendung kota yang jauh di bawah akan kelihatan. Mereka berhenti untuk menikmati pemandangan Puncak sambil menunggu datangnya sinar matahari, mereka juga melakukan sholat Subuh di Puncak.
Setelah matahari terbit dan puas menikmati pemandangan, mereka berempat turun. Dalam perjalan turun sekali lagi mereka masuk kedalam Gua untuk melihat apakah makhluk yang mereka lihat ada di sana. Tetapi makhluk itu tidak ada di sana.
Mereka pulang setelah sholat Jum'at di masjid desa itu, dengan membawa rasa penasaran, mereka pulang dengan membawa teka-teki tentang makhluk di depan Gua.
Karena rasa penasaran mereka, sepuluh hari kemudian mereka mendaki kesana berempat, kali ini mereka pergi pada hari sabtu, akan tetapi pada hari itu mereka bertemu dengan banyak pendaki lain, dan tidak terjadi apa-apa.
Dua puluh lima hari kemudian, pada hari Kamis malam Juma’t Legi, mereka mendaki kembali ke Samiaji hal ini mereka lakukan karena rasa penasaran mereka. Namun kali ini mereka tidak bersama dengan warga, mereka berangkat mendahului warga. Setelah sholat Ashar mereka berempat berangkat tanpa menunggu sampai Maghrib. Meraka melakukan sholat Maghrib di dalam hutan.
Setelah kira-kira hampir pukul sebelas malam mereka telah sampai di perbatasan Stefa dan Sabana. Langkah mereka terhenti, mereka dikejutkan oleh makhluk besar putih seperti macan yang mondar-mandir di depan Gua, merekapun bersembunyi di tempat yang sama ketika mereka dahulu bersembunyi.
Mereka menunggu dengan hati yang masih ketakutan sama seperti dulu. Gemetar menggelayuti seluruh tubuh mereka. Rasa takut semakin lama semakin terasa, bulu kuduk mulai berdiri ditambah dengan hawa yang semakin malam semakin dingin menusuk ke seluruh tulang-tulang, membuat sekujur tubuh mereka menggigil.
Setelah mereka menunggu kira-kira satu jam, dari arah bawah mereka terdengar sayub-sayub rombongan yang akan naik ke puncak. Semakin lama semakin jelas langkah mereka.
Setelah rombongan itu mendekat merekapun menoleh ke arah rombongan untuk menyapa anggota rombongan yang mereka kenal. Namun lagi-lagi keanehan terjadi di sini ketika mereka menoleh kembali ke arah atas, makhluk itu sudah lenyap. Mereka akhirnya bersama rombongan menuju ke puncak. Apa yang mereka lihat kali ini tidak mereka ceritakan pada rombongan itu.
Sesampai di puncak romongan mengadakan acara kirim do’a. Ternyata di puncak ada dua makam. Rombongan warga menaruh tumpeng di atas makam.
Sementara prosesi kirim do’a masih berjalan, dan tanpa diketahui warga, empat orang pemuda itu segera turun kembali ke Gua. Setelah mereka berada kira-kira seratus meter di atas Gua, kembali mereka dikejutkan oleh makhluk yang tadi. Mereka akhirnya memutuskan untuk menunggu rombongan turun.
Setelah rombongan turun mendekati mereka, seperti yang lalu, kembali terjadi keanehan. Makhluk di depan mereka lenyap seakan ditelan bumi.
Merekapun bersama-sama rombongan turun ke desa. Sesampai di desa kira-kira pukul tiga pagi. Empat pemuda ini terpaksa menginap di rumah Kami Tua yaitu pak Anwar sesepuh desa. Pagi-pagi benar mereka bangun kemudian sholat Subuh. Setelah sholat mereka duduk-duduk sambil bercakap-cakap dengan pak Anwar, beliau menceritakan apa yang beliau tahu tentang Macan Putih. Beliau pun mengatakan adalah Saru (tabu) menceritakan hal ini kepada penduduk luar desa, untuk itu mengapa penduduk desa tidak mau menceritakan hal ini.
Setelah matahari sudah bersinar mereka pamit pulang, tapi masih menyimpan rasa penasaran tentang makhluk Macan Putih di depan Gua di Puncak Samiaji. Sampai sekarang masih menjadi misteri. Ternyata hal ini juga pernah di alami oleh pendaki lain. Bahkan ada pendaki yang ketakutan setengah mati memilih lari kembali, akhirnya jatuh dan terluka parah, tapi warga tetap membisu.
Komentar :
Posting Komentar